Rabu, 31 Desember 2008

Arti Sebuah Nama

Nama, setiap orang pasti punya setidaknya satu nama. Sebagian besar orang seringkali tidak memiliki pemikiran yang jelas benar apakah arti dari nama yang disandangnya. Beberapa malah nampak tidak memperdulikan hal tersebut.

Namun nama dapat banyak berarti, bahkan ada orang yang malu bernama tertentu, bahkan ada yang mengidamkan memiliki suatu nama.

Nama bagi sebagian besar orang tidaklah lebih dari sebuah pengenal, untuk membedakan dirinya dengan orang lain. Pengenal yang digunakan bagi orang lain untuk memanggil dirinya, pengenal yang digunakan saat mengisi suatu formulir aplikasi, pengenal yang digunakan dalam setiap ijazah atau piagam. Bagaimana mungkin kita dapat membedakan setiap individu tanpa nama? Bahkan sebuah huruf pun dapat menjadi nama si empunya. Tidak perlu harus untuk manusia, bahkan untuk membedakan setiap file pun kita memerlukan nama untuknya. Bisa saja kita menamakan suatu folder di komputer dengan huruf X semata, tetap saja itu membedakannya dari folder lain yang kita sebut Y.

Kalau saja seseorang tidak bernama, lalu bagaimana kita harus menunjuk orang tersebut? Haruskah kita mendeskripisikannya terlebih dahulu, seperti ketika kita harus bercerita tentang seseorang yang mancung-tinggi, berkulit putih, dan kerambut ikal panjang sebahu? Yang seharusnya cukup kita sebut bernama Tina saja? Oh my God! Betapa lelahnya harus bercerita bilamana hanya untuk menggantikan satu kata kita harus berfrase sekian banyaknya.

Tidak ada informasi yang jelas mengenai kapan mulainya peradaban manusia menggunakan nama. Walaupun demikian setiap wilayah, maupun kultur memiliki ciri tertentu dalam meberikan nama. Contohnya saja di Bali. Sebuah pulau kecil yang berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa bahkan memiliki perbedaan dalam menyebutkan nama pertama untuk anak laki-lakinya. Di Bali bagian timur, anak laki-laki pertama seringkali di sebut Wayan, sedangkan di Bali bagian utara, mereka menyebut anak laki-lakinya dengan Gde. Untuk setiap kasta di Bali pun memiliki gelar yang berbeda, dimana Wayan tidak diperuntukan bagi mereka dari golongan ksatrya murni.

Dalam kasus di atas, arti nama lebih daripada sebuah pengenal tapi juga menunjukan dari golongan dan dari daerah mana mereka berasal. Selain itu, nama bagi beberapa orang juga dilengkapi dengan keterangan dari keluarga mana dia berasal. Contoh saja keluarga-keluarga suku batak dengan nama yang berbeda-beda. Keluarga Simatupang berbeda dengan keluarga Silitonga.

Di dunia barat, bahkan nama keluarga ini sangat penting untuk mengetahui sejarah keluarga. Mereka bahkan dapat mengetahui bahwa berdasarkan nama mereka, mungkin saja mereka masih memiliki keturunan langsung dari keluarga bangsawan. Bagi beberapa orang status seperti itu sangatlah penting. Mereka bahkan rela bersusah payah untuk mengurus legalitas pengakuan atas status keturunan ningrat mereka.

Tak hanya itu, nama bisa saja perwujudan dari cinta orang tuanya. Beberapa orang bahkan membuat nama untuk anak mereka merupakan singkatan tertentu dari nama kedua orang tua. Contohnya saja nama Erdi, diambil dari nara ayah yang bernama Erry dan ibu yang bernama Dien, sederhana bukan?

Kadang-kadang juga ada orang tua yang mengambil nama dari sesuatu yang dikenangnya atau yang sangat membekas dalam hatinya. Contoh saja diva terkenal Indonesia yang bernama Krisdayanti, ia dan Anang suaminya menamakan putri pertama mereka Titania, karena saat mengandung, si Ibu begitu terkesan dengan film Titanic yang dibintangi Kate Winslet dan Leonardo di Caprio tersebut.

Nama juga berarti suatu pengharapan saat si orang tua berharap akan seperti nama yang disandangnyalah sang anak nantinya. Seperti saat saya menamakan putra pertama saya dengan Bagus Mahottama, karena kami berharap agar dia kelak tumbuh menjadi anak yang tampan dan paling menonjol diantara orang-orang lain.

Kapan waktu pemberian nama bayi.

Tidak ada aturan yang baku kapan sebaiknya calon orang tua menamakan bayi mereka. Seringkali tergantung terhadap aturan setempat, adat istiadat dan kepercayaan yang dianut ayah dan ibu si bayi.

Beberapa orang tua bahkan sudah memanggil anak mereka dengan sebuah nama panggilan saat si anak masih di dalam kandungan, terutama ketika sang ginekologis telah memberitahukan pada pasangan tersebut apa jenis kelamin si jabang bayi.

Adapula adat yang mengatakan, jangan menyiapkan nama apapun sebelum bayi berusia 3 bulan dan bahkan ada upacara tertentu untuk pemberian nama. Tabu katanya bila memberikan nama pada sang bayi sebelum waktunya, takutnya terjadi hal-hal buruk pada sang bayi. Jadi selama menunggu waktu yang tepat, maka si orang tua hanya akan menyebut nama panggilan yang aman saja buat si bayi seperti misalnya menyebut ‘adik’, ‘kakak’ atau cuma’sayang’.

Di Bali, hal seperti ini disarankan untuk dilakukan oleh para pasangan orang tua sesudah bayi diberikan upacara 3 bulan Bali dimana kemudian dilanjutkan dengan mengadakan upacara untuk mengetahui urutan reinkarnasi dan nama yang diharapkan untuk disandang oleh jiwa yang lahir bersama sang bayi. Apabila orang tuanya telah menamai bayinya jauh-jauh hari dan dianggap tidak sesuai dengan keinginan jiwa yang bereinkarnasi, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seperi misalnya jika si anak merasa namanya terlalu berat, maka dia akan menjadi sakit-sakitan atau sering berkelakuan buruk. Selama proses menunggu, sebelum dilaksanakannya upacara 3 bulan Bali, maka orang tua sang anak hanya akan memanggil anaknya dengan nama panggilan sesuai dengan urutan kelahiran, dimana anak pertama akan disebut Wayan, Gde atau Putu, Made atau Kadek untuk anak kedua, Komang atau Nyoman untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat. Apabila nama lengkap sudah terlanjur diberikan dan akte kelahiran sudah pula dibuat, maka terpaksalah si orang tua harus mengurus perubahan nama dengan segala birokrasinya.

Akan tetapi aturan seperti ini tidak berlaku bagi setiap keluarga, dimana orang tua sudah benar-benar mempersiapkan nama sang anak jauh-jauh hari sebelum lahir. Apabila mereka tidak mengetahui jenis kelamin sang bayi saat di dalam kandungan, maka orang tua tersebut akan mempersiapkan 2 buah nama, satu untuk bayi laki-laki, satu lagi untuk bayi perempuan. Begitu sang bayi lahir, maka di boks bayi dan surat keterangan lahirnya dari rumah sakit sudah bertuliskan nama lengkap yang diberikan oleh orang tuanya.

Bagaimana pun juga setiap keluarga selalu menginginkan yang terbaik untuk putra putri mereka, maka selalulah menyesuaikan waktu pemberian nama dengan kebiasaan setempat dan kepercayaan keluarga yang dianut sejak lama. Namun apabila pasangan orang tua tidak begitu mengindahkan kepercayaan seperti itu, maka semua keputusan dikembalikan kepada pasangan orang tua sendiri dan mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan berdua.

Sabtu, 15 November 2008

Tradisi Pemilihan Nama 2 Budaya

Tradisi penamaan di Jepang

Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga [2]. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”(家) dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.

Tradisi penamaan di Indonesia

Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia

  • Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
  • Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
  • Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
  • Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
  • Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.

Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.

Perbandingan kedua tradisi

Persamaan antara kedua tradisi
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak. Umumnya laki-laki di Jepang berakhiran “ro” (郎), sedangkan perempuan berakhiran “ko” (子)

Perbedaan antara kedua tradisi sbb.

  1. Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk dicantumkan di akta kelahiran
  2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan di tengah, antara first name dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni, maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
  3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak.
sumber : http://asnugroho.wordpress.com/